Salah satu
pertanyaan yang sering diajukan oleh guru-guru penjas belakangan ini adalah :
“Apakah pendidikan jasmani?” Pertanyaan yang cukup aneh ini justru dikemukakan
oleh yang paling berhak menjawab pertanyaan tersebut.
Hal tersebut
mungkin terjadi karena pada waktu sebelumnya guru itu merasa dirinya bukan
sebagai guru penjas, melainkan guru pendidikan olahraga. Perubahan pandangan
itu terjadi menyusul perubahan nama mata pelajaran wajib dalam kurikulum
pendidikan di Indonesia ,
dari mata pelajaran pendidikan olahraga dan kesehatan (orkes) dalam kurikulum
1984, menjadi pelajaran “pendidikan jasmani dan kesehatan” (penjaskes) dalam
kurikulum1994.
Perubahan
nama tersebut tidak dilengkapi dengan sumber belajar yang menjelaskan makna dan
tujuan kedua istilah tersebut. Akibatnya sebagian besar guru menganggap bahwa
perubahan nama itu tidak memiliki perbedaan, dan pelaksanaannya dianggap sama.
Padahal muatan filosofis dari kedua istilah di atas sungguh berbeda, sehingga
tujuannya pun berbeda pula. Pertanyaannya, apa bedanya pendidikan olahraga
dengan pendidikan jasmani ?
Pendidikan
jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di
dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga tertentu
yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Paling tidak fokusnya
pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan motorik,
keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa juga
keterampilan emosional dan sosial.
Karena itu,
seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih
penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih metode,
melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan
murid lainnya, harus menjadi pertimbangan utama.
Adapun pendidikan
olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai cabang-cabang
olahraga tertentu. Kepada murid diperkenalkan berbagai cabang olahraga agar
mereka menguasai keterampilan berolahraga. Yang ditekankan di sini adalah ‘
hasil ‘ dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta bagaimana anak
menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai. Ciri-ciri
pelatihan olahraga menyusup ke dalam proses pembelajaran.
Yang sering
terjadi pada pembelajaran ‘pendidikan olahraga‘ adalah bahwa guru kurang
memperhatikan kemampuan dan kebutuhan murid. Jika siswa harus belajar bermain
bola voli, mereka belajar keterampilan teknik bola voli secara langsung.
Teknik-teknik dasar dalam pelajaran demikian lebih ditekankan, sementara
tahapan penyajian tugas gerak yang disesuaikan dengan kemampuan anak kurang
diperhatikan.
Guru
demikian akan berkata: “kalau perlu tidak usah ada pentahapan, karena anak akan
dapat mempelajarinya secara langsung. Beri mereka bola, dan instruksikan anak
supaya bermain langsung”. Anak yang sudah terampil biasanya dapat menjadi
contoh, dan anak yang belum terampil belajar dari mengamati demonstrasi
temannya yang sudah mahir tadi. Untuk pengajaran model seperti ini, ada
ungkapan: “Kalau anda ingin anak-anak belajar renang, lemparkan mereka ke kolam
yang paling dalam, dan mereka akan bisa sendiri“
Tabel di
bawah menekankan perbedaan antara pendidikan jasmani dengan pendidikan
olahraga.
Perbedaan antara Pendidikan
Jasmani dan Pendidikan Olahraga
|
|
Pendidikan Jasmani
|
Pendidikan Olahraga
|
|
|
Pendidikan
jasmani tentu tidak bisa dilakukan dengan cara demikian. Pendidikan jasmani adalah
suatu proses yang terencana dan bertahap yang perlu dibina secara hati-hati
dalam waktu yang diperhitungkan. Bila orientasi pelajaran pendidikan jasmani adalah agar anak menguasai
keterampilan berolahraga, misalnya sepak bola, guru akan lebih menekankan pada
pembelajaran teknik dasar dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditentukan.
Dalam hal ini, guru tidak akan memperhatikan bagaimana agar setiap anak mampu
melakukannya, sebab cara melatih teknik dasar yang bersangkutan hanya dilakukan
dengan cara tunggal. Beberapa anak mungkin bisa mengikuti dan menikmati cara
belajar yang dipilih guru tadi. Tetapi sebagian lain merasa selalu gagal,
karena bagi mereka cara latihan tersebut terlalu sulit, atau terlalu mudah.
Anak-anak
yang berhasil akan merasa puas dari cara latihan tadi, dan segera menyenangi
permainan sepak bola. Tetapi bagaimana dengan anak-anak lain yang kurang
berhasil? Mereka akan serta merta merasa bahwa permainan sepak bola terlalu
sulit dan tidak menyenangkan, sehingga mereka tidak menyukai pelajaran dan
permainan sepak bola tadi. Apalagi bila ketika mereka melakukan latihan yang
gagal tadi, mereka selalu diejek oleh teman-teman yang lain atau bahkan oleh
gurunya sendiri.
Anak-anak
dalam ‘kelompok gagal’ ini biasanya mengalami perasaan negatif. Akibatnya,
citra diri anak tidak berkembang dan anak cenderung menjadi anak yang rendah
diri. Melalui
pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif, semua kecenderungan tadi bisa
dihapuskan, karena guru memilih cara agar anak yang kurang terampil pun tetap
menyukai latihan memperoleh pengalaman sukses. Di samping guru membedakan
bentuk latihan yang harus dilakukan setiap anak, kriteria keberhasilannya pun
dibedakan pula. Untuk ‘kelompok mampu’ kriteria keberhasilan lebih berat dari
anak yang kurang mampu, misalnya dalam pelajaran renang di tentukan: mampu
meluncur 10 meter untuk anak mampu, dan hanya 5 meter untuk anak kurang mampu.
Dengan cara demikian, semua anak merasakan
apa yang disebut “perasaan berhasil” tadi, dan anak makin menyadari bahwa kemampuannya
pun meningkat, seiring dengan seringnya mereka mengulang-ulang latihan. Cara
ini disebut gaya
mengajar ‘partisipatif’ karena semua anak merasa dilibatkan dalam proses
pembelajaran.
Untuk
mencegah terjadinya bahaya lain dari kegagalan, guru pendidikan jasmani harus
mengembangkan cara respons siswa terhadap anak yang gagal dan melarang siswa
untuk melemparkan ejekan pada temannya.
No comments:
Post a Comment